Lima Puluh Kota, Balaiwartawan.com – Setelah sebulan hilang mobil dinas Kesehatan Kabupaten 50 Kota bernomor polisi BA 23 C kini telah kembali rapi dan mulus, kisah di balik pemulihan tersebut menyimpan drama yang jauh lebih kompleks dan mengusik. Kasus mobil dinas BA 23 C lebih dari sekadar insiden kecelakaan ia merupakan cermin suram yang memantulkan wajah pelayanan publik di Kabupaten Lima Puluh Kota. Sebuah drama yang berlatar pagar Polsek Harau sebagai panggungnya, penuh kejanggalan yang menggugah nurani masyarakat.
Bayangkan sebuah malam yang sunyi tiba-tiba dikejutkan oleh benturan keras. Mobil dinas BA 23 C, yang seharusnya menjadi simbol pelayanan kesehatan, menabrak pagar Polsek Harau. Kerusakan fisik tidak hanya menyisakan luka pada benda, tetapi juga luka mendalam pada kepercayaan publik terhadap aparat dan institusi yang harusnya melayani.
Mengapa insiden ini seolah ditutupi? Mengapa media lokal memilih bungkam? Pertanyaan-pertanyaan ini bergema dalam benak masyarakat, menciptakan atmosfer curiga dan kecewa yang meliputi warga. Awak media pun berusaha merangkai memori yang berserakan, mencari kebenaran di balik tabir misteri yang tertutup.
Kasat Lantas Polres 50 Kota, Iptu Zarwiko Irzal, SH, secara jujur membenarkan kejadian tersebut. Namun pengakuan itu justru membuka “kotak pandora” yang berisi kontradiksi dan kebingungan.
“Pagar sudah diperbaiki oleh pihak Pemda, dan penyebab laka tunggal tersebut adalah kelalaian sopir yang mengantuk,” ujarnya.24/10/25.
Namun sikap Pemda yang seharusnya transparan justru terkesan menutup diri. Sekretaris Dinas Kesehatan memilih bungkam, sementara Kepala Bidang Aset mengaku tidak mengetahui peristiwa tersebut. Sikap senyap ini bukan hanya mengecewakan, tapi juga melukai hati masyarakat yang mengharapkan keterbukaan.
Kepala Dinas Kesehatan Lima Puluh Kota, Yulia Masna, malah memperkeruh suasana dengan memberikan pernyataan yang berubah-ubah. Awalnya membantah ada kecelakaan, kemudian mengklaim mobil dinas tengah mengantar orang sakit malam itu. Namun, kebenaran terungkap ketika Yulia menyatakan mobil tersebut digunakan sopir untuk mengantar rombongan ke Halaban.
Kebohongan ini bukan hanya merendahkan jabatan Kadis Kesehatan, tapi juga menghina akal sehat publik. Ada pepatah Minang yang berbunyi, “Sa pandai-pandai manyuruak an bangkai, akhirnyo ta baun juo,” menggambarkan bahwa kebohongan sebesar apapun akhirnya akan terbongkar juga.
Sopir mobil yang seharusnya menjadi saksi kunci malah terjebak dalam kebingungan karena pengakuannya bertentangan dengan pernyataan Kadis Kesehatan. Hal ini semakin memperkuat dugaan adanya upaya manipulasi informasi demi melindungi kepentingan tertentu.
Kasus BA 23 C bukan sekadar tentang mobil yang hilang atau kecelakaan yang ditutupi, melainkan soal hilangnya integritas, pudarnya kejujuran, dan menipisnya kepercayaan masyarakat. Kasus ini menjadi cermin bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan demi melindungi kepentingan pribadi, mengorbankan kepentingan publik.
Masyarakat Limapuluh Kota bukanlah pihak yang bodoh. Mereka bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Rakyat mendambakan pemimpin yang jujur, transparan, dan bertanggung jawab. Mereka ingin melihat pelayanan publik yang berkualitas, bukan drama penuh kebohongan dan manipulasi.
Kasus BA 23 C semestinya menjadi titik balik bagi Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota. Ini kesempatan membersihkan diri dari praktik-praktik kotor, membangun kembali kepercayaan publik, dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik serta transparan.
Masyarakat meminta kejelasan dan kebenaran atas insiden ini. Mereka menuntut pihak yang bertanggung jawab diproses sesuai hukum, dan berharap agar sanksi tegas dijatuhkan bagi para pelaku. Lebih dari itu, warga ingin memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Yang terpenting, masyarakat ingin melihat perubahan nyata dalam budaya pelayanan publik. Pelayanan harus diberikan dengan ramah, cepat, dan profesional. Warga ingin merasa dihargai dan dihormati sebagai bagian dari negeri ini.
Kasus BA 23 C adalah luka yang menganga di wajah pelayanan publik Limapuluh Kota. Namun luka ini bisa menjadi motivasi untuk melakukan perbaikan mendalam. Dengan kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas yang tegak, luka ini akan sembuh, dan wajah pelayanan publik akan kembali bersinar penuh harapan.( Agus Suprianto)






