Limapuluh Kota, Balaiwartawan.com– Profesi wartawan tercoreng oleh ulah oknum yang diduga melakukan pemerasan terhadap masyarakat. Wartawan, yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi masyarakat dan pilar keempat demokrasi dengan pena yang tajam, justru berubah menjadi pemeras dan melakukan intimidasi.
Namun, perilaku berbeda ditunjukkan oleh oknum wartawan berinisial “Ryn,” ARL, dan RK, yang justru menjatuhkan martabat profesi yang seharusnya dijunjung tinggi. Alih-alih menghasilkan karya jurnalistik yang mencerahkan, mereka diduga menggunakan profesi wartawan sebagai alat untuk melakukan pemerasan, baik terhadap SPBU maupun masyarakat di Limapuluh Kota.
“Ryn” bersama RK dan ARL, mendatangi masyarakat yang berjualan minyak eceran dengan modus “Jangan sampai berita ini naik, bantu saja wartawan.” Hal ini diungkapkan oleh inisial RYN saat mendekati warga berinisial N di pinggir jalan lintas Sumbar-Riau, Jorong Aia Putiah, Nagari Sarilamak.
Warga berinisial N dan IS menjelaskan bahwa mereka hanya menjual minyak untuk keperluan mesin tempel dan bajak sawah di daerah tersebut, bukan melakukan penimbunan. Namun, “Ryn” dan oknum wartawan lainnya meminta sejumlah uang, bahkan memaksa mereka untuk membayar setiap bulannya.
Dalam pemberitaan yang beredar, nama masyarakat Aia Putiah digiring seolah-olah terlibat dalam kegiatan BBM ilegal. “Ryn,” RK, dan ARL menyebut N dan IS sebagai pelaku penimbunan BBM bersubsidi, dengan mengatasnamakan hasil investigasi media.
Ketua Umum Serikat Praktisi Media Indonesia (SPMI), Edi Anwar Asfar, menilai langkah ini tak lazim dan bahkan janggal. “Mencantumkan Nama Oknum, menerbitkan berita tanpa Konfirmasi, Tak lama berita itu langsung hilang, Take Down, ujarnya.
Modus Lama, Pola Sama
Fakta lain yang memperkuat dugaan tersebut adalah rekam jejak Ryn. Ia disebut pernah melakukan hal serupa di beberapa SPBU-SPBU lainnya di Lima Puluh Kota, dengan memeras pembeli BBM ilegal. Saat itu, Ryn menulis berita tentang transaksi BBM gelap, lalu meminta uang agar berita dihapus.. Berita itu ditayangkan pada beberapa media Online lokal.
Ryn, ARL dan Rk. tidak kredibel menjadi seorang jurnalis.
Jurnalisme yang Dikhianati
Di sinilah masalahnya menjadi serius. Jurnalisme yang mestinya berfungsi sebagai pilar demokrasi justru dijadikan alat untuk menekan, Ujar Edi Anwar.
Padahal, pers yang sehat adalah ruang kontrol sosial: mengawasi kekuasaan, menyuarakan warga, dan memberi fakta untuk publik.
Ketika wartawan menggunakan medianya sebagai alat barter untuk uang, maka fungsi luhur itu runtuh. Yang tersisa hanyalah “wartawan amplop ” yang menjadikan berita bukan sebagai produk intelektual, tetapi sebagai komoditas pemerasan.( Premanisme)
Dalam konteks hukum, praktik ini jelas Edi , bisa masuk ke ranah pemerasan dan pencemaran nama baik. UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 memang melindungi wartawan, tetapi hanya bagi mereka yang bekerja sesuai kode etik. Begitu jurnalis menyalahgunakan profesinya untuk menekan dengan ancaman berita bohong, perlindungan itu gugur.
Belajar dari Kasus Ryn, ARL dan Rk.
Kasus ini seharusnya jadi pelajaran besar bagi dua pihak : Bagi wartawan, bahwa profesi ini bukan jalan pintas mencari uang dengan menggadaikan fakta.
Wartawan harus bekerja dengan verifikasi, independensi, dan keberimbangan. Bagi masyarakat dan pejabat, jangan takut menghadapi “wartawan nakal”. Ada saluran hukum dan Dewan Pers untuk melaporkan. Membayar justru memperpanjang siklus pemerasan. (Agus Suprianto)